Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa saya ucapkan kepada dosen pengajar dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis angat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman. Amin
Surabaya, 14 Desember 2010
Penulis ,
Bab 1
Pendahuluan
1.1 Latar belakang
Teknologi informasi mempunyai pengaruh yang besar dalam berbgai aspek kehidupan masyarakat karena teknologi informasi sudah menjadi bagian dari hidup yang sangat penting. Dunia pendidikan, pemerintahan, bisnis dan usaha, sampai kesehatan dan kebutuhan harian masyarakat pun membutuhkan keberadaan informasi dan komunikasi.
Transaksi-transaksi yang berbasis teknologi informasi sejalan dengan laju pertumbuhan internet. Seiring dengan maraknya penggunaan internet yang dibutuhkan pengguna, banyak aplikasi-aplikasi baru bermunculan. Secara khusus hal ini sangat nyata terlihat dalam kegiatan bisnis, usaha, terutama dalam citra pendidikan.
Citra pendidikan adalah kesan yang ditimbulkan menurut pengetahuan dan pengertian publik dalam bidang pendidikan. Hal ini memiliki kaitan yang sangat erat antara masyarakat dan teknologi informasi.
Dengan perkembangan teknologi informasi yang tak mungkin dibendung, jenis kebijakan tentang pendidikanmelalui TV dan film tampaknya perlu dipikirkan dengan benar. Jika kita meyakini bahwa pendidikanmerupakan sebuah cara paling kuat untuk mengubah struktur budaya masyarakat, kebutuhan untuk menggunakan media massa seperti TV, film, internet, dan surat kabar/majalah dalam rangka menjaga proses terjadinya transplantasi budaya secara benar adalah imperative. Selain itu, kebijakan tentang jenis tayangan yang salah akan mempercepat terjadinya proses inflitrasi budaya satu ke budaya lainnya secara intensif dan dapat menyebabkan terjadinya penghapusan budaya (cultural genocide) secara perlahan-lahan. Oleh karena itu, saya akan membahas bagaimana hubungan teknologi informasi dengan citra pendidikan bagi masyarakat di indonesia.
1.2 rumusan masalah
Berdasarkan dari latar belakang di atas, masalah yang dirumuskan dan akan di bahas dalam makalah ini adalah hubungan antara masyarakat dengan teknologi informasi dalam bidang citra pendidikan. Apakah benar hal ini berkaitan, bagaimanakah kondisi citra pendidikan di indonesia seiring berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi yang semakin maju, dan antisipasi untuk menghindarkan hal-hal yang negatif dan menggantinya menjadi hal yang positif bagi masyarakat.
1.3 tujuan
adapun tujuan dari pembuatan makalah ini, yaitu :
1. Apakah citra pendidikan di Indonesia berjalan dengan baik?
2. Bagaimana pengaruh teknologi informasi bagi masyarakat di indonesia?
3. Apakah hubungan antara teknologi informasi dan citra pendidikan masyarakat di indonesia?
Bab 2
Pembahasan
2.1 citra pendidikan
Salah satu kebutuhan penting manusia adalah pendidikan, pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang kehidupan. Tanpa pendidikan, manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersinergi dengan zaman (bukan bersaing), manusia pada dasarnya adalah ciptaan Tuhan tanpa persaingan karena memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik untuk menjunjung tinggi kehidupan yang damai, bersaudara dan saling kasih mengasihi, dan berkorelasi antara menolong dan di tolong.
Mempertimbangkan pendidikan generasi sekarang sama dengan mempersiapkan generasi yang akan datang. Hati seorang anak (peserta pendidikan) bagaikan sebuah plat fotografik, kerangka kosong yang tidak bergambar apa-apa, siap merefleksikan semua yang ditampakkan padanya. Sehingga penting bagi pengajar untuk memahami dan mendeskripsikan apa yang seharusnya di isikan terhadap peserta didik. Tentunya dengan platform budi pekerti luhur.
Empat pilar pendidikan masa depan yang di sunting berdasarkan rancangan UNESCO dan perlu dikembangkan oleh lembaga pendidikan di Indonesia, Pertama, learning to Know. Konsep pertama ini diproyeksikan untuk memberikan pemahaman sekedar mengetahui sebagai prospek pertama kali dalam belajar. atau sekedar mendengarkan, artinya tugas guru lah yang menyampaikan materi pengajaran dengan benar (fasilitator), tanpa distorsi materi dan harus memiliki penguasaan yang mapan. Kedua, learning to do. Setelah konsep pertama tercapai maka beralih pada level yang lebih practically, yaitu belajar dengan cara mempraktekan apa yang telah di ajarkan dalam konsep pertama (belajar untuk melakukan sesuatu). dalam hal ini kita dituntut untuk terampil. Ketiga, learning to be. Pada level ini diharapkan peserta pendidikan mampu menjadikan dirinya sebagai agent dari generasinya, mampu menelaah fenomena sekitar dengan mengandalkan pemikiran yang bijaksana. Keempat, learning to live together. Konsep terakhir ini menawarkan bagaimana peserta didik sudah bukan lagi dalam tahap menerima, akan tetapi sudah pada tingkatan bermfaat bagi manusia lainnya.
2.2 teknologi informasi
Pada awal sejarah, manusia bertukar informasi melalui bahasa. Maka bahasa adalah teknologi, bahasa memungkinkan seseorang memahami informasi yang disampaikan oleh orang lain. Tetapi bahasa yang disampaikan dari mulut ke mulut hanya bertahan sebentar saja, yaitu hanya pada saat si pengirim menyampaikan informasi melalui ucapannya itu saja. Setelah ucapan itu selesai, maka informasi yang berada di tangan si penerima itu akan dilupakan dan tidak bisa disimpan lama. Selain itu jangkauan suara juga terbatas. Untuk jarak tertentu, meskipun masih terdengar, informasi yang disampaikan lewat bahasa suara akan terdegradasi bahkan hilang sama sekali.
Setelah itu teknologi penyampaian informasi berkembang melalui gambar. Dengan gambar jangkauan informasi bisa lebih jauh. Gambar ini bisa dibawa-bawa dan disampaikan kepada orang lain. Selain itu informasi yang ada akan bertahan lebih lama. Beberapa gambar peninggalan zaman purba masih ada sampai sekarang sehingga manusia sekarang dapat (mencoba) memahami informasi yang ingin disampaikan pembuatnya.
Ditemukannya alfabet dan angka arabik memudahkan cara penyampaian informasi yang lebih efisien dari cara yang sebelumnya. Suatu gambar yang mewakili suatu peristiwa dibuat dengan kombinasi alfabet, atau dengan penulisan angka, seperti MCMXLIII diganti dengan1943. Teknologi dengan alfabet ini memudahkan dalam penulisan informasi itu.
Kemudian, teknologi percetakan memungkinkan pengiriman informasi lebih cepat lagi. Teknologi elektronik seperti radio, televisi, komputer mengakibatkan informasi menjadi lebih cepat tersebar di area yang lebih luas dan lebih lama tersimpan.
2.3 hubungan teknologi informasi dalam citra pendidikan dengan masyarakat di indonesia.
Dua pertanyaan penting yang sedikit terlihat kalut ditunjukkan Mendiknas dalam menanggapi tersebarnya video porno artis hingga ke ujung negeri. Pertama, Mendiknas tak setuju denganpendidikan seks dan, kedua, meminta kepada semua kepala sekolah di seluruh Indonesia untuk setiap saat merazia isi telepon seluler para siswa karena khawatir dengan penyebaran video porno. Jelas sekali kedua pernyataan tersebut memperlihatkan jenis pendekatan yang reaktif seorang menteri ketimbang proaktif. Di tengah ketidakmampuan birokrasi dan para guru kita dalam mendesain dan mengajarkan dokumen tertulis kurikulum secara benar, kasus video porno jelas merupakan peringatan terhadap jajaran Kemendiknas untuk lebih inovatif dan kreatif dalam mendistribusi kebutuhan virtue terhadap setiap mata ajar yang dipelajari siswa di sekolah.
Keruntuhan citra pendidikan
Jelas sekali beredarnya video porno artis merupakan tamparan hebat terhadap citra pendidikan di Tanah Air. Tak tahu di mana mereka dulu bersekolah, jika memang benar pelakunya adalah artis yang diduga ternama. Hal itu menunjukkan adanya sikap hidup hedonis dan rendahnya moralitas artis akibat pendidikan yang salah bisa jadi merupakan salah satu penyebab. Artis, melaui teknologi informasi, bukan saja menjadi faktor pendorong runtuhnya moralitas anak muda, melainkan sekaligus merupakan korban dari arus teknologiinformasi yang tanpa kontrol.
Meskipun kita telah memiliki undang-undang tentang pornografi dan teknologi informasi, paradigma perkembangan teknologi informasi dan kapitalisasi ekonomi dalam kebijakan tayangan televisi dan peredaran film jelas harus dicermati secara saksama oleh para pengambil kebijakan bidang pendidikan di Indonesia. Sebagai basis pendidikan massal paling efektif, tayangan televisi, film dan penggunaan internet memiliki peluang untuk mengubah tatanan budaya bangsa yang dikenal santun dan beradab ke arah yang kurang beradab dan tak mengenal tata krama. Dighe (2000) mengisyaratkan baik konten maupun rancangan program tayangan dalam bentuk film, video, dan musik bisa jadi merupakan manifestasi dan justifikasi superioritas budaya tertentu yang belum tentu semuanya baik.
Hasil riset menunjukkan dampak tayangan televisi, film, dan penyebaran video porno melalui internet juga menambah terjadinya praktik kekerasan, mistisisme, dan hura-hura ala sinetron. Bahkan jika semua fakultas psikologi di Indonesia mau dengan sukarela meriset kondisi mental siswa-siswi di sekolah, pastilah akan didapati banyak sekali anak usia sekolah yang mengalami depresi dan sakit jiwa. Bahkan dalam bahasa seorang sutradara Peter Weir, sebagai toxic culture, sebuah tayangan yang terlalu memamerkan kekerasan dan erotisme sangat tidak mendidik dan dapat menyebabkan kriminalitas di usia muda meningkat, egoisme tambah menjadi-jadi, bahkan juga dapat merusak lingkungan dan budaya sekolah ke arah yang tidak sehat (Bennet: 2000; Gidley: 2000). Ketika zaman televisi masih dimonopoli TVRI, mungkin peran pendidik (gurudan orang tua) tak terlalu berat dan melelahkan. Di samping jenis tayangan memang masih terbatas, bentuk tayangan juga masih mempertimbangkan aspek budaya lokal tiap daerah di Indonesia. Tayangan Si Unyil, drama Losmen, dan serial Aku Cinta Indonesia (ACI) begitu digemari dan menjadi rujukan para guru di sekolah dan orang tua di rumah.
Dapat dibayangkan betapa berat dan sulitnya para guru dan orang tua untuk berlomba kreativitas dengan tayangan elektronik ini.
Karena itulah, beberapa hasil riset tentang kekhawatiran pengaruh tayangan berbasis teknologi informasi terhadap pendidikan merekomendasikan langkah-langkah metodologis proses belajar-mengajar agar menggunakan pendekatan holistik, pro-active social skills seperti resolusi konflik dan metode cooperative learning. Jika hal itu lalai dibangun, keruntuhan citra pendidikan di Indonesia akan semakin menjadi-jadi; tidak hanya kerusakan di bidang akademis, tetapi dalam waktu bersamaan juga terjadi kerusakan moral secara masif.
Memanfaatkan budaya populer
Adalah naif dan tidak mungkin rasanya menolak budaya populer dan trend setter gaya hidup serbahedonis yang setiap hari secara terbuka ditayangkan dalam bentuk film, musik, video, dan komik/majalah. Yang paling mungkin dilakukan adalah menghidupkan kesadaran kritis para pendidik untuk memaksimalkan bentuk-bentuk tayangan tersebut sebagai tools dalam proses belajar-mengajar. Keberanian untuk menggunakan berbagai macam jenis tayangan sebagai bahan ajar juga harus dikembangkan sedemikian rupa, bahkan termasuk mendiskusikan hal-hal yang tabu seperti masalah seks dan kekerasan. Harus kita yakini bahwa tayangan baik dalam bentuk film, video, musik, maupun komik atau fiksi terpilih dan pantas secara sadar harus mampu digunakan para guru dalam proses belajar-mengajar. Ada banyak film semisal Pay It Forward atau Freedom Writers yang layak diputar dan didiskusikan di ruang kelas dengan anak-anak kita yang sedang beranjak dewasa (tingkat menengah).
Sebagai salah satu bentuk pedagogis bergerak yang secara langsung dapat merefleksikan dunia nyata, film dapat merangsang siswa untuk mendiskusikan banyak sekali isu tentang ras, kelas, gender, kekerasan, dan orientasi seksual manusia. Karena itu, menggunakan film sebagai salah satu bahan ajar merupakan jawaban bagi para siswa yang menggemari budaya populer, tetapi dilakukan secara terbimbing di ruang kelas. Jika hal itu dilakukan, biasanya siswa akan terlihat berani untuk menganalisis isi film dari beragam perspektif, bahkan bisa jadi mereka memiliki pandangan-pandangan yang unik menurut pengalaman masing-masing. Diskusi film selalu merupakan cara yang efektif untuk melihat reaksi siswa dalam menyikapi sebuah peristiwa dan mengambil virtue yang secara kolektif biasanya akan lebih mudah dilakukan (Sealey: 2006).
Kebiasaan dan perilaku melarang para guru terhadap siswa untuk tak melihat film dan video sebenarnya lebih akan membuat siswa penasaran. Tetapi jika itu dilakukan secara bersama-sama dengan guru dan teman mereka, proses berpikir kritis pun akan terlatih. Yang paling baik adalah kemauan guru untuk melakukan browsing bersama siswanya dalam mencari film dan video pembelajaran melalui Youtube.com, misalnya. Jutaan film setiap hari dirilis ke dalam Youtube.com, tetapi jika hal itu diniatkan sekaligus digunakan untuk tujuan pembelajaran, bisa dipastikan anak-anak akan senang untuk berbagi perspektif. Apalagi jika guru lebih kreatif, jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter bahkan bisa dijadikan sebagai medium e-learning yang dikemas untuk pola belajar tak langsung atau jarak jauh (distance learning). Hanya, pertanyaannya, berapa banyak guru yang bisa dan mau memanfaatkan teknologi informasi sebagai bahan ajar?
Gardner (2007) mengingatkan para pendidik bahwa siswa perlu dibina dan dikembangkan untuk menghadapi arus besar teknologi informasi dengan multimodal literacy skills yang sangat krusial untuk kehidupan abad 21.
Karena itu, kemampuan guru dalam penguasaan teknologi informasi juga merupakan tuntutan yang tidak bisa dihindarkan dalam kebijakan pendidikan kita. Selain itu, dalam rangka mengimbangi budaya populer yang semakin menggila, sekolah perlu dilengkapi dengan perpustakaan digital yang mampu mengakses jutaan sumber belajar yang berserakan di dunia maya. Masalah baru yang muncul dan dihadapi otoritaspendidikan kita adalah mahalnya perangkat digital sekolah dan sulit dan lamanya melatih guru untuk melekteknologi informasi.
Belum lagi tantangan dari cara pandang tradisional yang masih menganggap teknologi informasi sebagai bentuk berhala baru dan karena itu, sedapat mungkin harus dihindari. Sikap mental guru/pendidik seperti itu malah tidak akan menguntungkan dunia pendidikan kita. Karena itu, dibutuhkan mentalitas dan kapasitas akademis guru yang selalu ingin belajar, terutama dalam membina sisi afektif dan psikomotorik siswa-siswi mereka. Apalagi saat ini juga berkembang sebuah pendekatan baru dalam mengajar yang diperkenalkan Susan M Drake dan Rebecca C Burns dalam buku Meeting Standards through Integrated Curriculum (2004), yaitu transdisciplinary approach. Transdisciplinary approach membutuhkan keterampilan guru yang luar biasa untuk memandang dan mengajarkan sebuah subjek berdasarkan tema, konsep, sekaligus keterampilan yang sesuai dengan kehidupan nyata dan minat siswa.
Bab 3
Penutup
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa citra pendidikan di Indonesia kurang berjalan dengan baik. Hal itu ditunjukkan dari banyaknya masyarakat muda maupun tua yang terjerat pergaulan yang kurang baik atau dapat dikatakan pergaulan bebas. Jika citra pendidikan di indonesia sudah baik, pengaruh negatif yang di timbulkan dan di buat oleh media-media informasi seperti radio, TV, ponsel, dan sebagainya tidak akan mempengaruhi kehidupan masyarakat di Indonesia. Apalagi kini jaman semakin maju dengan adanya jaringan internet. Ditambah lagi maraknya video-video porno yang tersebar bahkan dari kalangan masyarakat Indonesia seperti video porno artis yang telah tersebar luas bukan hanya di negeri sendiri saja.
Namun sebetulnya pengaruh teknologi informasi bagi masyarakat di indonesia ini sudah cukup baik. Hanya saja ada sisi lain ada hal yang dijadikan sesuatu yang negatif oleh sebagian masyarakat terutama anak muda yang emosional dan asupan pendidikannya masih labil.
Hubungan antara teknologi informasi dan citra pendidikan masyarakat di indonesia sangat erat. Tanpa teknologi informasi masyarakat tak akan bisa hidup dengan nyaman dan pendidikan pun tidak akan berjalan dengan lancar karena kini hampir semua hal membutuhkan teknologi. Hanya saja tergantung kita menyikapinya, bagaimana kita dapat mengontrol diri kita sendiri untuk mempergunakan teknologi yang ada dengan positif dan agar citra pendidikan kita pun terjaga dengan baik.
3.2 saran
? jagalah citra pendidikan kita sendiri jangan smpai terbawa oleh pengaruh negatif dari teknologi informasi yang semakin canggih.
? Berpikirlah positif agar sebanyak apapun pengaruh yang di timbulkan oleh teknologi informasi ini bisa di jadikan pelajaran berharga bukan sebagai acuan kita untuk berbuat hal yang sama.
? Hindarilah sebisa mungkin hal-hal yang negatif dari teknologi informasi yang semakin maju ini agar citra pendidikan kita ataupun masyarakat di indonesia tidak rusak.
Daftar pustaka
http://www.dapunta.com/teknologi-informasi-dan-citra-pendidikan.html
http://whaysworld.wordpress.com/2010/10/27/pengaruh-teknologi-informasi-di-dalam-masyarakat-sosial/
http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/11/rekonstruksi-citra-pendidikan-di-indonesia/
No comments:
Post a Comment